Tuesday, May 26, 2015

Skripsi Dihapus - Pro/Kontra


      
Sudah menjadi rahasia umum yang berkembang di negeri ini, setiap pergantian menteri biasanya akan berganti kebijakannya pula yang tidak sejalan dengan program sebelumnya. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) berencana membuat kebijakan baru lagi, Yakni tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1). Motivasi yang ingin ditekankan agar kecurangan-kecurangan dalam penyusunan tugas akhir tersebut tidak semakin meluas dan merusak mentalitas para penerus negeri ini.
      Rencana kebijakan tersebut disampaikan langsung Menristekdikti Muhammad Nasir di rumah dinasnya komplek Widya Candra, Jakarta. Menurutnya kebijakan tersebut sedang dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana. Menurut Menristekdikti untuk menyandang gelar sarjana, mahasiswa diberi pilihan-pilihan. Pilihan untuk lulus selain menyusun skripsi, yaitu dengan pengabdian ke masyarakat atau dengan laporan penelitian dilaboratorium. Jadi diharapkan mahasiswa yang lebih jago penelitian laboratorium, tidak merasa dipaksa untuk menyusun skripsi. Begitu pula mahasiswa yang cenderung untuk memilih pengabdian masyarakat , tidak perlu memaksakan diri untuk menyusun skripsi.
      Rencana pemerintah yang akan ditelurkan tersebut, pastinya tidak lepas dari pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat baik dari kalangan akademisi maupun khalayak umum.  Meskipun skripsi mempunyai tujuan untuk mendorong mahasiswa untuk mampu menyusun dan menulis karya ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing yang ditekuni. Tetapi kewajiban itu memaksakan kepada mahasiswa , hasilnya bisa ditebak tidak akan maksimal. Mahasiswa  akan tidak tertarik lagi untuk meneliti, karena meneliti tidak lahir dari keinginannya sendiri, melainkan untuk memenuhi persyaratan lulus sarjana.
      Lebih memprihatinkan dari itu, skripsi dijadikan komoditas yang sangat menguntungkan, contohnya dengan adanya skripsi secara otomatis ada dosen pembimbing, semakin mahasiswa yang dibimbing maka semakin banyak extra fee- nya. Banyak mahasiswa yang strees karena skripsi, akhirnya banyak mahasiswa yang mengambil cara pintas dengan membeli kepada jasa pembuat skripsi, plagiarism terjadi dimana-mana. Karena tidak menutup mata, setiap ada kampus, biasanya di sekitar lingkungan tersebut banyak yang membuka usaha jasa mengerjakan skripsi, entah itu jasa pengetikan maupun “borongan” skripsi.
      Pendapat lain tentang skripsi disampaikan oleh Rektor Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Yogyakarta, Prof Sari Bahagiarti, menyatakan bahwa keputusan menghilangkan skripsi bertentangan dengan wacana Mendikbud sebelumnya. (Tribunjogja.com). Mengingatkan wacana menteri sebelumnya yang sangat menganjurkan dan menggencarkan  publikasi ilmiah. Apalagi proses kuliah selama ini terkait dengan tridharma pendidikan tinggi, yang terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk memenuhi ketiga unsur tersebut, pembelajaran sudah didapatkan dalam KBM di kelas. Pengabdian masyarakat biasanya dapat terbentuk didalam materi kuliah yang bersinggungan langsung terjun ke masyarakat, biasanya populer dengan KKN, KKL, PPL, dan lain sebagainya. Untuk pemenuhan penelitian, maka dianjurkan mahasiswanya untuk membuat suatu karya ilmiah salah satunya dengan skripsi.
      Terlepas dari pro dan kontra diatas, hendaknya kita berfikir positif dengan rencana kebijakan yang akan dicanangkan tersebut. Karena sebuah kebijakan sebelum diaplikasikan pastinya sudah melalui proses pembahasan oleh para ahlinya. Kebijakan tersebut diharapkan akan membawa perubahan yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment